Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa
yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan
Ki
Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu
cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan
Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng
Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya
(Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah
menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah
memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu,
namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang
keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis
agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa
jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem
persawahan di Pantura
Jawa Barat,
penggunaan hanacaraka
dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta
beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa:
Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul),
Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan
ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah
kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara
pada saat itu.
Masa awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal
Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di
sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi
keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan
di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena
beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak
atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di)
Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas
Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas
Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan
Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari
pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira
gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw.
"kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat
terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang
berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa
peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat
I memindahkan lokasi keraton ke Plered
(1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya
dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677)
ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II
(Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang
tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan
lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat
Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah
Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV
(1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.
Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga
tertangkap di Batavia
lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada
masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari
1755. Pembagian
wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan
wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting
·
1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
·
1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang
mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai
penguasa baru di Mataram, yang sebelumnya sebagai putra angkat Sultan Pajang
bergelar "Mas Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di sebelah utara
pasar). Ia mendapat gelar "Senapati in Ngalaga" (karena masih
dianggap sebagai Senapati Utama Pajang di bawah Sultan Pajang).
·
1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang
badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
·
1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar
"Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur
Kehidupan Beragama.
·
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan
kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat
saat berburu (jawa: krapyak).
·
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya
Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian
digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan
Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah
Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan
Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar
"Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
·
1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam
keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
·
1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret.
Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan
Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas
ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
·
1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran
Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan
Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
·
1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan
putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa.
Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723).
·
1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan
Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
·
1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil
direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian
sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat
melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II
sebagai imbalan atas bantuan VOC.
·
1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati
ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara
Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta
Jawa Ketiga yang
berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan
mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
·
1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan
kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat
ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai
Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai
Susuhunan Paku Buwono III.
·
1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di
provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai
Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
·
1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan
perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman
Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota
kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain
meratifikasi nota yang sama.
·
1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi
dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun
Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin
Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
·
1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut
membagi wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dengan Sunan Paku Buwono III,VOC dan Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan
Surakarta dengan gelar "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara
Senopati Ing Ayudha".
·
1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma
diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan
Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
· 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh
daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian
Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi
secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih
Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de
facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20
tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati
Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya
secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram,
namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita
tuna
grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan
Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah
pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki
Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu
masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun
istana baru di desa Karta,
sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada
tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun
1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam
perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji
Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji
Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung
memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba
membalas. Adipati Pajang
juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan
membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada
Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem
dan Pasuruan
tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan
panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Menaklukkan Surabaya
Pada tahun 1620 pasukan Mataram
mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas
dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa
(bupati Kendal)
untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan
sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki
Juru Martani) untuk menaklukkan Madura
tahun 1624. Pulau
Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah
pimpinan Pangeran Prasena yang
bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi
Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini
akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena
pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara
pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung
Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal
karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran
Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan
dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang
sebagai bupati.
Pasca penaklukan Surabaya
Setelah penaklukan Surabaya,
keadaan Mataram
belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak
tahun 1625-1627 terjadi wabah
penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah
penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula
pemberontakan Pati yang
dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri.
Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.
Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih
bermarkas di Ambon)
mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak
mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang
berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak
bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil
merebut Jayakarta
di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti
namanya menjadi Batavia.
Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut,
Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai
menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar.
Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya.
Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Menyerbu Batavia
Sasaran Mataram
berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di
ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang
menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628
Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai
duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu
dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung
memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus
1628 pasukan Mataram
dipimpin Tumenggung Bahureksa,
bupati Kendal
tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja
(cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000
prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami
kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung
bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran
Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan
sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua
kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat
pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan
kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua
14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara
mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun
pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan
kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai
Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda
Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen
meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Setelah kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah dalam
perseteruannya dengan VOC
Belanda. Ia
mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan
Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian
diputus tahun 1635
karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia
menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali
dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas
pada tahun 1630.
Kemudian Sumedang
dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang
masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut
dengan munculnya pemberontakan Giri
Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa
segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri,
maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran
Pekik pemimpin Ampel.
Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik
Sultan Agung pada tahun 1633.
Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri
tersebut pada tahun 1636.
Akhir kekuasaan
Wilayah
kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613-1645)
Pada tahun 1636 Sultan
Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri
Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat
tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah
berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil
ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan
Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai
kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan
kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan,
sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan
Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah
terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat
Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau
mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan
pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para
bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain.
Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan
bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Wafatnya Sultan Agung
Menjelang tahun 1645 Sultan
Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga
menuliskan serat Sastra Gending sebagai
tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal
dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas
Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar